Oleh Anjani Tri Fatharini GEMPA 5,6 skala Richter yang berpusat di Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November menimbulkan lebih dari seratus korban jiwa. Korban mengungsi lebih banyak lagi, melampaui 13 ribu ini memanggil para pegiat kemanusiaan untuk bergerak menggalang donasi uang maupun barang-barang, salah satunya adalah pakaian bekas. Aksi cepat warga yang menggalang donasi ataupun memberikan sumbangan patut diacungkan jempol. Namun, langkah kita berdonasi – khususnya berbagi pakaian bekas – mesti hati-hati. Sebab, niat baik ini bisa menjadi masalah baru bagi lingkungan maupun penyintas bencana jika tidak dilakukan secara bijak. Tulisan ini akan mengulas bagaimana hal tersebut mungkin saja terjadi. Baca juga Gempa Cianjur M 5,6 Terasa sampai Jakarta, Apa Penyebabnya? Pentingnya pemilahan pakaian bekas Agus Tantomo / Wakil Bupati Berau Ratusan pakaian bekas mengotori laut Berau Donasi pakaian dapat menjadi masalah baru ketika pakaian tidak dipilah saat didonasikan. Proses ini menjadi krusial karena tidak semua pakaian dapat digunakan dan dalam keadaan layak. Misalnya, pakaian yang berjamur, robek, hingga berlubang. Donasi pakaian tidak melalui pemilahan justru dapat menambah jumlah sampah di Tempat Pembuangan Akhir TPA, bahkan teronggok begitu saja di sekitar lokasi bencana. Beberapa kejadian bencana menjadi contoh bagaimana niat baik kemudian berubah menjadi masalah di posko bantuan. Misalnya, penumpukan pakaian bekas di posko bantuan banjir bandang di Sukabumi pada tahun 2020, banjir bandang di Jember pada tahun 2021, dan bencana erupsi Gunung Semeru tahun 2021. Tumpukan pakaian ini menjadi masalah baru dan menambah beban kerja bagi relawan posko. Saya juga sempat mewawancarai salah satu kelompok masyarakat marginal di kota Semarang yang sering menerima donasi pakaian. Mereka justru mengeluhkan tumpukan pakaian hasil donasi yang tidak digunakan sehingga menambah sesak gudang. Karena tertimbun terlalu lama, pakaian menjadi lembap dan berjamur. Baca juga Gempa Cianjur yang Merusak Termasuk Gempa Kerak Dangkal, Apa Itu? Mereka akhirnya terpaksa membakar pakaian-pakaian bekas itu. Tentunya ini menjadi masalah lingkungan baru. Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB juga menyoroti dampak donasi pakaian bekas. Mereka menyampaikan kepada masyarakat untuk berdonasi pakaian kepada korban bencana hanya jika diminta oleh penanggung jawab posko bantuan. Sebelum menggalang donasi ataupun menyumbangkan barang, penting bagi publik untuk melihat kebutuhan dalam situasi bencana. Pasalnya, prioritas bantuan untuk memenuhi kebutuhan penyintas bencana tentunya berbeda-beda. Misalnya, saat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 2018, para penyintas laki-laki akhirnya mengenakan pakaian daster yang biasanya dipakai perempuan. Karena itulah, penting bagi calon donatur ataupun lembaga penerima donasi untuk memetakan kebutuhan pakaian di suatu lokasi bencana. Harapannya, donasi yang digelontorkan bisa lebih sesuai kebutuhan dan bermanfaat untuk para harus ke posko bencana DIRGA CAHYA Outwear hasil berburu pakaian bekas di Pasar Poncol, Senen, Jakarta. Alasan kemanusiaan bukanlah satu-satunya pemicu kita untuk berdonasi pakaian. Terkadang, kita melakukannya untuk mengurangi tumpukan pakaian di lemari. Namun, patut diingat bahwa posko bencana bukanlah satu-satunya saluran untuk berdonasi. Kita bisa saja mengandalkan sistem donasi yang sudah ada. Beberapa organisasi atau komunitas di Indonesia menerima donasi pakaian masyarakat untuk disumbangkan kembali atau diolah. Misalnya Gombal Project, sebuah usaha sosial dari Yogyakarta untuk mengurangi limbah tekstil termasuk pakaian bekas. Mereka menerima donasi pakaian untuk diolah kembali menjadi produk yang dijual ke publik. Gerakan ini menerapkan sistem donasi terbatas, yakni membuka saluran penyumbangan pakaian bekas berdasarkan kebutuhan produk yang akan dibuat. Baca juga Inilah Alasan Mengapa Pakaian Kita Turut Mencemari Lingkungan Sistem ini membantu dalam menghindari terciptanya sampah baru dengan pakaian yang kemudian tidak dapat dikelola. Selain itu, sistem ini dapat mendorong gerakan pilah pakaian dari rumah untuk mendorong rasa tanggung jawab dari para donatur pakaian. Selain Gombal Project, beberapa inisiatif lingkungan lain seperti Zero Waste Indonesia juga memulai gerakan tukarbaju. Caranya, warga dapat membawa pakaian yang sudah tidak dipakai untuk ditukarkan dengan pakaian dari peserta lain. Harapannya, upaya ini dapat menjadi gaya baru berdonasi sekaligus mendorong fesyen yang bertanggung jawab di masyarakat. Terlepas dari hal tersebut, Indonesia membutuhkan sistem donasi pakaian yang mapan. Artinya, sistem ini dapat menampung pakaian bekas setiap waktu dengan tujuan penyaluran yang beragam. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat marginal ataupun korban bencana, usaha pengolahan pakaian, ataupun langsung dijual kembali. Di samping itu, donatur wajib memilah pakaian bekas sebelum disumbangkan. Sistem ini penting untuk mengantisipasi kebutuhan pakaian bekas bagi penyintas bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Sarana penyaluran juga dibutuhkan untuk mengurangi timbunan limbah tekstil di Indonesia yang jumlahnya per 2021 sudah mencapai 2 juta ton. Anjani Tri Fatharini Pengajar, Universitas Diponegoro Artikel ini tayang di berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Cara bijak berdonasi pakaian saat bencana, agar tidak asal buang dan mencemari lingkungan". Isi di luar tanggung jawab Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
TanahAbang, Senin 20 januari 2014 pukul 09.00 Wib Seluruh anggota Polsek Metro Tanah Abang menyumbangkan beberapa pakaian layak pakai untuk diberikan kepada pa
SUKABUMI, - Penyintas bencana banjir di Kota Sukabumi, Jawa Barat yang terjadi pada Kamis 17/2/2022 di antaranya membutuhkan bantuan pakaian. Banjir luapan sungai Cisuda yang menerjang Kampung Tugu, Kelurahan Jaya Raksa, Kecamatan Baros itu memporak-porandakan rumah dan isinya. "Gak ada barang yang bisa diselamatkan, berusaha menyelamatkan anak-anak saja," ungkap seorang penyintas bencana, Resti Jayanti 32 kepada Jumat 18/2/2022.Baca juga Kunjungi Korban Banjir Sukabumi, Mensos Risma Minta Rumah Kelompok Rentan Dipasangi Tanda "Cuma ini yang bisa diselamatkan," sambung ibu rumah tangga ini sambil membersihkan pakaian-pakaian kotor bercampur lumpur di pinggir rumah yang dindingnya jebol. "Pakaian anak-anak juga semuanya terendam banjir, semuanya kotor. Alat-alat elektronik dan perlengkapan rumah tangga yang lainnya juga begitu," sambung Resti yang memiliki tiga senada juga dituturkan sejumlah penyintas bencana banjir yang sempat berbincang dengan Bahkan pasca-banjir, di antara para penyintas masih ada yang memakai pakaian saat kejadian. Namun adapula para penyintas bencana yang memakai pakaian pinjaman dari keluarga atau kerabat yang rumahnya selamat. "Dinding kedua kamar ini jebol, kasur, lemari pakaian juga terbawa hanyut," aku Siti Fatimah sambil menunjukan ke arah lemari yang terletak di halaman rumah tetangganya, sekitar 20 meter dari rumahnya. Baca juga Waspada Bencana Alam di Jabar hingga Akhir Februari, Khususnya di Bekasi dan Sukabumi Pos logistik di Baros Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kota Sukabumi, Imran Wardhani menuturkan berbagai bantuan sudah mulai berdatangan ke Pos Logistik. Bantuan berasal di antaranya dari donatur, lembaga sosial kemanusiaan Kementerian Sosial Kemensos, BPBD Provinsi Jabar, dan Pemerintah Kota Pemkot Sukabumi.
Pendistribusian barang bantuan untuk korban banjir akan kami serahkan pada 23 Januari 2021 didampingi sepuluh orang dari Komunitas Seminggu Seribu Berkah dan Komunitas Milenial Tanggap Bencana," katanya. Iwan mengaku telah memasang rencana strategi penyaluran bantuan untuk korban banjir dengan menyisir korban yang sangat membutuhkan.
- Hidung Bety kebal dengan bau lembab yang menguar di ruang kerjanya. Kondisi seperti itu sudah terjadi sejak Rabu 1/1/2019 sore. Bau demek itu bersumber dari tumpukan pakaian basah yang mengantre untuk dicuci. Bety tidak membuka jasa cuci pakaian basah secara khusus. Ia sedang kewalahan melayani para pelanggan yang terdampak banjir. "Ini [pakaian-pakaian] datang dari mana saja. Kebanyakan warga sini," ujar wanita berusia 43 tahun itu, Selasa 7/1/2020. Ia sudah bekerja dua tahun sebagai penatu Zona Laundry yang terletak di Jalan Squadron, Kampung Makasar, Jakarta Timur. Sekitar 3 kilometer dari tempat Bety bekerja merupakan titik banjir terparah, dengan ketinggian mencapai 1,5 meter per 1 Januari 2020. Letak tempat kerja Bety terbilang tinggi, sehingga tak terimbas banjir. "Pakaian banyak sudah sejak hari pertama banjir," ujarnya. Hari ini, ada pelanggan yang memasukkan 45 kilogram pakaian basah, jumlah yang relatif stabil dengan enam hari lalu. Sudah sejak pukul WIB, ia diperintahkan bosnya untuk menghentikan pakaian yang datang. Seorang pemuda bahkan harus menahan kecewa lantaran buntelan pakaiannya ditolak Bety. "Sudah enggak sanggup lagi saya. Maaf, maaf deh, kalau ditolak," celetuknya. Bety hanya ditemani oleh Siska yang juga penatu. Mereka hanya kebagian tugas menerima pesanan, menimbang, dan mencuci. Sementara untuk menyetrika dialihkan kepada dua orang pegawai Zona Laundry lainnya yang bekerja di lain tempat. Mengerjakan pakaian kotor milik korban terdampak banjir terasa cukup berat bagi Bety. Sebab ia tidak bisa langsung mencuci begitu saja. Bety harus menyikat pakaian-pakaian itu terlebih dahulu, memisahkan lumpur atau tanah merah yang masih tersisa. Hal itu yang membikin pengerjaan bertambah makan waktu. Ia tidak bisa memastikan akan segera selesai dalam waktu dua hari. "Tarif di sini Rp6 ribu per kilogram. Biasanya 2 hari selesai. Tapi kalau sekarang, nggak janji deh, tergantung pakaiannya," ujarnya. Sudah memasuki tujuh hari, Bety tidak merasakan santai bekerja selayaknya hari biasa. Ia mengawali pekerjaan sedari pukul WIB hingga WIB. Bosnya tidak memberikan kompensasi lebih atas membludaknya pakaian yang harus dicuci. Ia hanya diberikan tambahan makan siang saja. Padahal kalau hari-hari biasa, ia hanya mengerjakan tak lebih dari 20 kilogram pakaian kotor saja. Sedari pukul WIB, ia sudah bisa leyeh-leyeh. Ia mendaku cukup kewalahan sekaligus merasa terhormat. Sebab pakaian yang ia tangani ini milik para korban terdampak banjir. "Itung-itung beramal," katanya. "Bos juga enggak mau aji mumpung, naikin tarif. Masa orang kesusahan kita ambil kesempatan sih," tambahnya. Pakaian Basah Bikin Lembur Lain Bety, lain pula cerita Tursinah terkait dampak banjir bagi para penatu ini. Selama dua bulan, ia bekerja sebagai penatu di Mentari Laundry, minggu ini merupakan fase pekerjaan yang terbilang berat baginya. Nenek berusia 60 tahun itu lembur melulu sejak Kamis 2/1/2020. Lantaran pakaian yang mesti dicuci membeludak. "Saya kerja mulai jam 9 pagi. Biasanya jam 5 sore juga sudah pulang. Tapi sekarang si ibu [pemilik penatu] minta saya lembur sampai jam 9 malam," ujarnya, Selasa. Perintah lembur diberlakukan karena tempatnya bekerja menerima pakaian-pakaian dari para korban terdampak banjir. Tidak hanya korban yang berasal dari sekitar tempatnya bekerja saja Kampung Makassar, Jakarta Timur. Bahkan, menurutnya, ada yang terjauh dari Kota Bekasi. Ia juga heran bisa mendapatkan pelanggan jauh begitu. "Pakaiannya banyak, saya timbang 49 kilogram. Pada tutup kali ya [penatu] di sana?" ujarnya. Sejak Kamis 2/1/2020, ia sudah melayani rata-rata 40 sampai 50 kilogram pakaian kotor per hari. Jumlah tersebut untuk satu pegawai saja. Mentari Laundry memiliki tiga penatu sehingga kalau ditotal dalam sehari bisa mengerjakan 150 kilogram pakaian kotor per hari. Padahal pada hari-hari biasa, ia hanya mengerjakan tak lebih dari 25 kilogram pakaian kotor per hari. "Tangan saya sampai kapalan," celetuk Tursinah terkekeh. Ia juga mendaku kewalahan mengerjakan pakaian kotor milik korban terdampak banjir sebab kondisi pakaian yang berlumpur. Maka ia harus menyikat terlebih dahulu satu per satu pakaian, memastikan bebas lumpur saat hendak digiling dengan mesin agar mesin cuci juga tidak rusak. Tursinah tinggal di kawasan Kramat Jati dan tidak terdampak banjir. Saat mendapat pekerjaan mencuci pakaian korban banjir ini, ia tak mengeluh meski lelah dan tak mendapat kompensasi tambahan dari pemilik penatu. "Abisnya kasihan kalau enggak diterima. Saya mah ngebayangin kalau saya yang ada di posisi begitu," ujarnya. Tarif pelayanan pun tidak sengaja dinaikkan. Semuanya normal seperti tarif hari biasa yakni Rp6 ribu per kilogram untuk pengerjaan dua hari. Upah untuk setrika Rp5 ribu per kilogram untuk pengerjaan dua hari. Ada tarif kilat Rp8 ribu per kilogram untuk pengerjaan satu hari. Namun, layanan kilat ini tak diterapkan, lantaran mereka tidak sanggup mengerjakan. "Reguler saja saya sampai lembur. Bagaimana yang kilat. Enggak sanggup deh," tukasnya. Salah seorang pelanggan yang kebetulan hendak menitipkan pakaian kotor imbas dari banjir, Asti, mengaku beruntung masih ada penatu yang mau menerima pakaiannya. Ibu rumah tangga berusia 34 tahun itu tinggal di Kampung Makassar dan nyaris sudah menjelajah sampai Condet, Jakarta Timur untuk sekedar mencuci pakaian miliknya, suami, dan dua anaknya. "Kalau saya masih bisa bertahan dengan pakaian seadanya. Tapi anak-anak kan kasih. Saya terbantu banget sama laundry yang masih terima," ujarnya di Mentari Laundry, Selasa. - Sosial Budaya Reporter Alfian Putra AbdiPenulis Alfian Putra AbdiEditor Maya Saputri
UxU9ga. l5w5ygv15c.pages.dev/9l5w5ygv15c.pages.dev/85l5w5ygv15c.pages.dev/155l5w5ygv15c.pages.dev/244l5w5ygv15c.pages.dev/28l5w5ygv15c.pages.dev/119l5w5ygv15c.pages.dev/305l5w5ygv15c.pages.dev/346l5w5ygv15c.pages.dev/43
ibu menyumbangkan 40 pakaian kepada korban banjir